Menjadi Pemimpin yang Toleransi, Memandang Kesalahan sebagai Alat Pendidikan
Akademi Fajar Benua – Toleransi nampaknya telah menjadi “momok” bagi kebanyakan orang. Hal itu disebabkan karena semakin banyaknya kasus intoleransi yang pada akhirnya membuat optimisme akan implementasi sikap toleransi di masyarakat itu memudar.
Sebut saja hasil survei yang dilakukan Wahid Institute menunjukkan tren intoleransi dan radikalisme di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Dari hasil kajian yang dilakukan lembaga yang dipimpin oleh Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid itu ada sekitar 0,4% atau sekitar 600.000 jiwa warga negara Indonesia (WNI) yang pernah melakukan tindakan radikal atau intoleransi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata toleransi memiliki beberapa makna. Makna yang pertama ialah sifat atau sikap toleran, yang dimaknai dengan dua kelompok dengan budaya yang berbeda namun tetap saling berhubungan. Makna yang lainnya ialah penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja. Maka secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap menerima akan perbedaan yang dimiliki atau kesalahan yang dilakukan orang lain terhadap kita.
Dunia yang merupakan tempatnya dualitas, akan selalu ada baik dan buruk, suka dan duka, panas dan dingin, dan sebagainya. Semua itu dirasakan oleh indera-indera yang kita miliki. Misalnya ketika secara tidak sengaja tangan kita terkena air panas, maka kita akan berduka seketika. Sebaliknya ketika tubuh kita merasakan suasana yang sejuk, maka kita akan merasakan kenyamanan. Hal-hal itu hanya bersifat sementara, tidak abadi. Namun dengan sikap toleransi, kita akan dibawa pada keadaan netral, baik saat suka maupun duka.
Bagi seorang pemimpin, sikap toleransi sangatlah dibutuhkan. Seperti dilansir dalam Harvard Business Review bahwa para pemimpin yang toleran terhadap kegagalan mengirim pesan yang jelas kepada organisasi mereka bahwa kesalahan konstruktif tidak hanya dapat diterima tetapi juga bermanfaat. Karyawan merasa bahwa mereka telah diberi lampu hijau untuk berangkat dan mengeksplorasi, tidak lagi berpikir dalam hal keberhasilan atau kegagalan tetapi sebaliknya dalam hal pembelajaran dan pengalaman. Itulah kunci untuk menghasilkan produk dan proses terobosan: melihat kesalahan alat pendidikan mereka dan sebagai rambu-rambu di jalan menuju kesuksesan.
Berusaha melepaskan ikatan akan hasil dari kewajiban yang dilakukan merupakan cara yang direkomendasikan untuk menumbuhkan sikap toleransi. Dengan begitu seseorang akan menjadi pribadi yang selalu mawas diri, tenang, dan totalitas dalam bekerja. Pribadi-pribadi seperti inilah yang dapat menjadi pemimpin dalam berkontribusi secara maksimal untuk kepentingan banyak orang – tidak hanya untuk kepentingan pribadi.